Senin, 25 Agustus 2008

Petaka Kembang Seruni

Kondisi Zaman
Petaka Kembang Seruni
Kompas, Sabtu, 28 Juni 2008 | 00:53 WIB

Kembang Seruni merupakan simbol zaman yang disajikan Sang Ajar, mertua Jaya-amijaya, pada Prabu Jayabaya ketika berkunjung ke sanggar semedinya. Sang Ajar memerintahkan endangnya (pelayan wanita) untuk menyiapkan tujuh hidangan, kunyit, juadah, getih, kajar, bawang putih, kembang melati, dan kembang seruni.

Tiba-tiba saja Prabu Jayabaya murka dan menikam Sang Ajar dengan kerisnya, begitu pula endangnya. Menyaksikan mertuanya dibunuh oleh ayahhandanya tercinta, Jaya-amijaya pun bersedih.

Dengan lembut Prabu Jayabaya berkata, ”Wahai putraku, janganlah engkau bersedih, sesungguhnya ia telah berdosa ingin mempercepat berakhirnya para raja di tanah Jawa. Jika hidangan itu aku sambut, niscaya tidak ada lagi kerajaan di tanah Jawa…. Ketahuilah bahwa tujuh perlambang hidangan Sang Ajar itu terdapat tujuh tingkat kerajaan yang alamnya berganti-ganti dan berlainan pula peraturannya. Wasiatkanlah hal ini kepada anak cucumu di kemudian hari.”

Demikian yang dikatakan Prabu Jayabaya kepada putranya Jaya-amijaya (H Karkono Kamajaya, 1995).

Zaman Kalabendu

Hidangan terakhir berupa kembang seruni merupakan simbol adanya zaman Kalabendu, suatu zaman yang kacau balau. Kekayaan lebih diutamakan, orang kecil semakin terimpit oleh naiknya harga berbagai kebutuhan. Pemerintahan buruk dan keadilan tidak ada, penguasa serta pembesar bertabiat tidak baik sehingga orang kecil tidak menghormati.

Para penguasanya tidak paramarta (mulia) karena tak ada lagi wahyunya sehingga titahnya tidak berwibawa. Tabiat manusia berubah-ubah, perempuan hilang rasa malunya, orang miskin semakin banyak, kerusuhan sering terjadi. Orang pandai dan bijaksana disingkirkan, kejahatan merajalela. Angin puyuh dan hujan salah mangsa (tidak sesuai waktu), permusuhan terus terjadi meskipun tidak jelas siapa lawan dan siapa kawan.

Saat datangnya zaman Kalabendu, kehidupan manusia tidak menentu, aturan hukum dilanggar oleh penegak hukum.

Penguasa hanya mengembangkan pundi-pundi konglomerasi, sedangkan rakyat hanya bisa ”bermimpi” untuk menikmati kesejahteraan dan keadilan.

Persaingan politik memanas, para tokoh bangsa ”menelanjangi” dirinya demi sebuah ambisi. Rakyat tidak lagi dapat hidup tenang di jalanan, bahkan di dalam rumahnya sendiri. Maka, inilah yang disebut dengan goro-goro (saat kekacauan) atau zaman Kalabendu. Yaitu satu zaman di mana manusia melupakan kediriannya dan kesejatiannya. Yang tersisa hanyalah nafsu kekerasan, peperangan, dan nafsu kebrutalan sebagai alasan untuk mempertahankan hidup.

Harmonisasi diri

Namun, zaman Kalabendu atau goro-goro merupakan tafsiran simbolis dan filosofis yang tentunya tidak selalu didasarkan pada realitas masyarakat sekarang ini. Selain itu, goro-goro atau zaman Kalabendu merupakan visi tentang kesempurnaan masyarakat masa depan (Sindhunata, Gramedia, 1999). Sesungguhnya pesan moral yang terkandung dalam zaman Kalabendu adalah memberikan motivasi diri agar berubah dan tidak larut dalam kelamnya zaman.

Maka, setiap kali datang kesulitan, pasti datang kemudahan. Demikian pula dengan perjalanan ramalan Joyoboyo, setelah datangnya zaman Kaliyuga, akan datang zaman Kertayuga, yaitu zaman yang bertabur ”emas” dan ”permata”. Zaman di mana keadilan, ketenteraman, keamanan, kebenaran, kebahagiaan berdiri kokoh. Peralihan zaman Kaliyuga ke zaman Kertayuga ditandai dengan munculnya Ratu Amisan atau Satria Piningit.

Harapan datangnya zaman Kertayuga pada tahun 2009 ditentukan hari ini. Apabila penguasa birokrasi dapat mengubah diri, harapan adanya perbaikan dan perubahan akan terwujud.

Perjalanan jiwa adalah upaya akulturasi ”rasa” yang menciptakan keharmonisan dalam ”keheningan”. Artinya, hidup sederhana dan terbuka serta tidak merasa menange dewe (ingin menang sendiri), nefsu bendere dewe (merasa benar sendiri), dan nefsu butuhe dewe (merasa paling membutuhkan) (Magnis, 1991). Harmonisasi adalah usaha untuk mencapai kebahagiaan sejati.

Muhammad Alfan Dosen Fakultas Ushuludddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung